Konten Satwa (Liar) atau Eksploitasi? di Indonesia
Konten Satwa (Liar) atau Eksploitasi? di Indonesia
Tanggal 4 Desember lalu diperingati sebagai Hari Konservasi Kehidupan Liar Sedunia atau Wildlife Conservation Day, meliputi flora dan fauna di alam. Menjaga kehidupan flora dan fauna di alam liar sama dengan menjaga ekosistem kehidupan pendamping manusia. Tambahan jumlah masyarakat pasti dibarengi peningkatan jumlah bangunan sampai turunkan banyak tempat kosong. Pertanyaannya, ke mana perginya ekosistem rimba?
Salah seorang influencer yang memelihara satwa liar berinisial AA dulu pernah memberikan komentar keadaan hutan; menurut dia, saat ini keadaan rimba sedang tidak baik saja. Secara tertulis ia menolak melepas satwa liarnya ke alam bebas sesuai sama kemauan sejumlah netizen. Dalam kata lain, memelihara satwa liar dengan mandiri dilihat seperti pilihan bijak pada periode sekarang ini.
Figure baru saja cuman satu di antara banyaknya influencer dan figur publik yang berisi konten bertajuk satwa liar. Tujuannya berbagai macam, beberapa salah satunya sebagai evaluasi, mencari uang, atau sekadar mengekspos saja. Hanya pembuat konten yang ketahui.
Seperti yang disebut influencer di atas, realitanya deforestasi rimba Indonesia terus terjadi. Pernyataan pengurangan jumlah deforestasi rimba secara menonjol oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada 2021 ditantang data dan bukti dari organisasi Forest Watch Indonesia (FWI).
Direktur Eksekutif FWI Mufti Barri menjelaskan bila pengurangan gerakan deforestasi bukan muncul karena terturut pemerintah, tapi karena habisnya sumber daya rimba. Mufti dan Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak bahkan memprediksi gerakan deforestasi justru bertambah dalam beberapa tahun depan karena pembangunan infrastruktur di sekitar mempermudah izin jalan masuk rimba.
Lantas dengan prediksi rusaknya kondisi rimba pada masa mendatang, apa pemeliharaan satwa liar secara pribadi sudah cocok?
Izin Memelihara Satwa Liar
Menjadikan satwa liar untuk dipelihara atau diperjualbelikan sebetulnya telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 berkenaan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tapi, ketetapan ini hanya membahas ketetapan niaga dan pemeliharaan satwa dilindungi.
Sedikit sayang bila ketetapan hanya berisi satwa dilindungi -maknanya tidak semuanya satwa liar dapat terlindungi hukum. Walaupun sebetulnya perburuan dan konsumsi satwa liar yang telah dilaksanakan terus menerus dapat menukar satwa liar itu menjadi spesies sangat jarang-jarang dan dilindungi.
Ketetapan itu dipakai sebagian orang untuk memelihara satwa liar, seperti monyet ,dan menjadi konten. Konten dengan monyet donkeysofwales.com sebagai objek pada dasarnya memiliki keserupaan dengan pertunjukan samaran monyet, yakni eksploitasi hewan.
Samaran monyet telah lama dihilangkan hadirnya, tapi konten monyet saat ini tiba kembali pada warga. Ketidaksesuaian signifikan antara kedua nya berada di pola asuh hewan tersebut. Jika dalam konten dipertunjukkan pemeliharaan satwa secara baik, karena itu samaran monyet sama dengan penindasan.
Bukan hanya monyet sebagai satwa liar yang bisa jadi konten, hewan di komune asli juga bisa jadi konten. Seperti konten temui ular king cobra dalam rimba. Ini ialah eksploitasi hewan tidak berizin.
Walaupun ada limitasi memelihara satwa sangat jarang-jarang dan dilindungi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tetap memberikan fleksibiltas memelihara dengan syarat tertentu, yakni hewan yang didapat bukan hasil dari alam tapi dari penangkaran dengan barisan F2. Melalui ketetapan ini, banyak konten kreator di media sosial yang memelihara satwa sangat jarang-jarang dan jadi konten. Salah satunya youtuber AA dengan harimau sebagai objek pokoknya.
- محمد رحیم زاده
- 1403-04-16
- 74 بازدید